Ia sering disebut sebagai “orang Norwegia paling terkenal di dunia”. Tak ada yang tahu, Ole Gunnar Solskjaer pernah mengalami pergulatan dengan masalah kepercayaan diri.
Malam itu adalah malam terakhirnya di Manchester. Ole Gunnar, Silje dan tiga putranya yang masih kecil tengah berbaring di lantai beralaskan matras. Mereka sedang berlibur selama 14 hari saat jasa pindahan rumah membersihkan rumah, kini tak ada yang tersisa di sana kecuali matras tersebut, dan untuk sementara mereka tidur di lantai. Salam perpisahan telah diucapkan pada tetangga di sekitarnya. Ole berbaring di kamar itu, meresapi kekosongan. Pasangan ini masih sangat muda saat mereka pertama pindah ke sana, hanya ia dan Silje 15 tahun lalu. Esok ia akan kembali ke kampung halamannya.
” Saya telah begitu egois.” Ole Gunnar duduk di sebuah sofa kulit berukuran kecil, membungkuk ke depan. Rambutnya basah.
” Saya tidak pernah berusaha untuk disukai, atau membuat orang bangga. Saya memilih jalan yang sulit, karena itu sebuah keharusan. Saya harus mengurus diri sendiri. Saya tidak pernah ingin menyenangkan orang.”
Ia bermain selama 11 tahun untuk Manchester United dengan nomor ’20′ di punggungnya, melesakkan bola ke gawang dari hampir setiap sudut yang memungkinkan, ia setia, dan ia tanpa ampun. Apakah hal yang aneh kalau orang-orang menyayanginya? 126 gol, supersub, legenda. Saat ia mundur dari United, pria-pria dewasa pun tak kuasa menahan tangisnya. Sir Alex Ferguson, sang manajer, menyebutnya “pria fantastis”. Namanya terus ada di daftar lagu yang dinyanyikan suporter di Old Trafford, namanya bahkan masih dapat kita lihat di sana. Tapi di luar Aker Stadium di Molde, tak ada yang bernyanyi.
“Orang bilang keputusan paling bodoh adalah menjadi pelatih kepala di Molde,”
Ia menyeringai, lalu memperbaiki posisi celana berwarna biru-tuanya.
“Yah, bagi saya itu luar biasa. Saya justru menikmatinya. Saya telah duduk di bench ratusan kali, dan tiap kali di sana saya berkata dalam hati, ‘lihat saja nanti kalau saya turun ke lapangan, akan saya tunjukkan siapa saya’.”
*
Sesi latihan pagi telah menjadi hidupnya sekarang. Tiap hari ia akan
mengendarai Audi Q7-nya melintasi pegunungan Kristiansund untuk memimpin
latihan. Ia mendengarkan radio Inggris, XFM Manchester, daripada
stasiun Norwegia yang terus memutar musik 80-an.
“Apakah pulang ke Norwegia dilakukan semata karena keputusan karir? atau keluarga?”
“Keduanya,” jawabnya.
Dengan kedua tangan di saku celana, ia memimpin langkah kami ke kantin
tempat pemain-pemain berpakaian training biru tengah menyantap roti
sarapan mereka. Mereka tampak lebih muda daripada yang terlihat di
televisi. Kami menuruni tangga, berjalan melalui koridor menuju ruang
konferensi pers. Kursi-kursi kosong menyambut kami.
“Tentu saja ini keputusan sulit. Saya bermain bola selama 11 tahun, dan selama itu saya mengutamakan karir di atas segalanya.”
“Segalanya?”
“Ya, saya mengorbankan banyak hal agar bisa bermain bagi United selama mungkin. Kedengarannya gila, tapi saya juga kehilangan banyak waktu bersama keluarga. Saya sering merasa, Silje, anak-anak, dan saya harusnya melakukan sesuatu bersama-sama, tapi karena ada pertandingan dalam 3 hari, saya mengurungkan niat. Saya takut permainan saya akan terpengaruh. Yang saya pikirkan hanya pertandingan berikutnya, pertandingan berikutnya, pertandingan berikutnya.”
“Apakah menjadi ayah membuat perbedaan bagimu?”
“Tidak. Menentukan prioritas tidaklah sulit. Tak ada bedanya. Saya menikmati waktu di rumah, tapi saya lebih memilih menghabiskan malam sebelum pertandingan kandang di kamar hotel sendirian.”
“Kesepian sekali tampaknya,”
“Ya, memang itu sebuah kehidupan yang sepi. Saya melakukan apa yang diperintahkan. Berlatih, makan, dan tidur sesuai apa yang ditentukan. Dan saya melakukannya karena saya tahu dengan begitu saya akan prima pada saat turun bertanding.”
Camp Nou, Barcelona, 1999. Masih ada kesunyian yang tak terlukiskan. Bola melayang di bawah sorot lampu, terbang turun mendekati tatapan-tatapan yang menantinya, kaki yang kelelahan, semua hal yang lumrah itu. Dua menit memasuki extra time, dan tak ada yang dapat menghentikan apa yang akan terjadi selanjutnya. David Beckham telah mengambil sepak pojok, tak lama kemudian Teddy Sheringham membelokkan arah bola dengan kepalanya, dan Ole Gunnar di sana, belum tahu apa yang menantinya.
Ratusan jam di tempat latihan, pengulangan-pengulangan yang tak terhitung jumlahnya, mimpi masa kecil, tetesan hujan di wajah, lutut-lutut yang memar, semua menjadi masa lalu. Ini saatnya. Bola datang ke arahnya dan kesunyian itu berakhir.
*
Mereka telah membeli sebuah rumah di pinggir laut. Seluas 4000 meter
persegi dengan kolam renang. Sebuah awal sempurna bagi kehidupan normal
yang akan mereka jalani. Silje sedang sibuk dengan proyek fotografinya,
anak-anak mulai masuk sekolah. Hari-hari itu tenang dan damai.
“Kami ingin memberi anak-anak kami pengalaman kami semasa kecil. Bisa berjalan kaki ke sekolah. Di Inggris, kami harus mengantar mereka pulang-pergi setiap hari dengan mobil. Kami pikir itu tidak
baik,” katanya.
Baik Silje dan Ole Gunnar berasal dari Kristiansund. Mereka bertemu lewat sepakbola, dan sekembalinya Ole dari wajib militer, mereka menikah. Mereka tak terpisahkan sejak itu. Anak-anak mereka adalah Noah yang berusia 11 tahun, Karna 7, dan Elijah 2.
“Jika kami tinggal di Inggris lebih lama lagi, mungkin anak-anak akan jadi warga negara Inggris. Mereka keturunan Norwegia asli dengan aksen Kristiansund lebih kental dibanding warga asli di sini. Tapi semakin dewasa akan semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke Norwegia. Noah harus pindah sekolah dan karena kami merasa ia mulai agak kurang betah, maka tawaran dari Molde ini tiba di waktu yang tepat.” Ole Gunnar berpikir sejenak.
“Rumah baru yang tengah kami bangun di Manchester akan selesai pada musim panas, dan tadinya kami berencana pindah ke sana. Kalau itu terlaksana, mungkin kami tidak akan pernah pulang kampung,” ia tersenyum lebar lalu merentangkan kedua tangannya. “Mungkin semua ini berkah yang tersembunyi.”
Cedera lututnya tak dapat pulih. Itu terlihat jelas dari foto-foto roentgen dan wajah para dokternya. Tak ada yang tersisa untuk dapat disembuhkan, tak ada harapan untuk kembali. Semua telah selesai. 366 partai untuk salah satu klub terbesar di dunia, dan satu-satunya yang dirasakan Ole Gunnar adalah kegugupannya saat ia harus memberitahu sang manajer.
“Saya pernah berjanji pada Silje, saat karir saya berakhir kami akan berlibur selama satu tahun. Keliling dunia, mencari pengalaman-pengalaman baru,” ia lalu tersenyum, “tapi janji itu hanya bertahan dua puluh detik.”
Setelah pemeriksaan terakhir pada lututnya, ia pergi ke Carrington. Tepat saat ia tiba di sana, Sir Alex tengah berjalan melintasi lapangan parkir. Ole menghentikan mobilnya, lalu turun dan berbicara pada si bos. ” Saya tak bisa bermain lebih lama lagi. Saya kembali harus menjalani operasi. Saya harus mundur,” katanya. Ferguson menatapnya lalu berkata, ” kau memiliki karir yang luar biasa, kau telah membuat keluargamu bangga, membuat saya bangga dan apa yang telah kau lakukan beberapa tahun terakhir ini sangat mengagumkan. Bagaimana kalau kau melatih para penyerang kami?.”
“Saya merasa sangat buruk saat harus pulang dan memberitahu Silje akan hal ini, tentu saja. Tapi mendapat kesempatan melatih di klub terbaik dunia, di bawah pengawasan manajer terbaik, itu….,” Solskjaer berusaha mencari kata-kata yang tepat, ia terdiam beberapa saat, kerutan-kerutan muncul di keningnya.
“Bagaimana reaksi istrimu?”
“Kami baru saja membeli sebidang tanah, dan rencananya saya akan bermain satu musim lagi sebagai supersub. Saat ia melihat bagaimana wajah saya setelah percakapan itu, ia mengerti betapa lega dan bahagianya saya mendapat pekerjaan ini. Ia sangat fantastis.” Ole kembali tersenyum.
Selama bermain, ia kerap menulis sebuah buku harian. Segala pikiran dan perasaan didokumentasikannya secara menyeluruh di buku itu. Maret 2000, Solskjaer telah menjadi legenda hidup Manchester United. Ia dijuluki “pembunuh berwajah bayi”. Namun pada hari-hari itu, ia menulis di bukunya, ‘saya telah muak bermain buruk dan tidak merasa percaya diri. Saya harus melakukan sesuatu’.
“Saya tertawa saat membacanya sekarang. Tapi memang kepercayaan diri itu sangat penting. Saat itu saya berada di titik terendah dan banyak merenung mengenai hal ini.”
“Tentunya tak ada alasan pasti untuk itu ‘kan?,”
“Tidak. Dan tidak semua hal terlihat sama seperti yang ada di permukaan. Hidup tidak berjalan seperti itu.”
Saat para pelatih melihat perubahan pada Ole Gunnar, mereka melakukan perubahan.
“Mereka menaruh saya satu tim dengan Roy Keane di tiap sesi latihan selama satu bulan.”
Keane, si pria Irlandia, mantan kapten United, termashyur akan
temperamen dan tekel-tekel kerasnya, sama halnya dengan bakat
sepakbolanya.
“Roy meneriaki saya dan mereka ingin saya menjawab teriakan itu. Pada akhirnya saya kehilangan kesabaran dan balas meneriakinya. Setelah sesi latihan itu saya bertanya kepada pelatih kenapa saya harus bermain di tim itu. ‘Kami ingin kau membela dirimu sendiri,’ kata mereka.”
Dan Solskjaer akan mendapat kesempatan untuk menguji hal itu. Klub lalu
merekrut Ruud van Nistelrooy dari Belanda, salah satu striker terbaik di
dunia. Dan jelas salah satu striker yang ada akan tersingkir. Ferguson
memberitahu Solskjaer ia akan diberi kesempatan untuk bermain dan
membuktikan kepantasannya di tim utama dalam minggu-minggu mendatang.
Setelah pertandingan melawan Southampton, Sheringham, Yorke, Cole dan
Solskjaer dipanggil ke kantor sang manajer. Ferguson mengumumkan
Sheringham dan Cole akan bermain di partai berikutnya, “semua setuju?,”
kata Sir Alex. Ketiga striker lainnya mengangguk lalu meninggalkan
ruangan itu, namun Solskjaer tetap bertahan. “Ada apa, nak?,” tanya
Ferguson. “Saya tidak senang. Anda mengatakan saya akan diberi
kesempatan. Anda telah menantang saya, dan ini kesempatan Anda. ” Sir
Alex menatapnya lalu berkata, “baiklah. panggilkan Teddy ke sini.”
Partai berikutnya, Solskjaer jadi starter. Dan ia bertahan di United
hingga akhir karirnya.
Di malam setelah kemenangan di Barcelona, seorang fotografer mengabadikan sebuah momen. Sepak pojok Beckham, sentuhan ringan Sheringham, dan Solskjaer yang merentangkan kaki kanannya. Kesunyian meledak dalam sorak sorai tak terkendali. Dua menit memasuki extra time, “and Solskjaer has won it!,” teriak komentator. Sebuah malam besar, dan sebuah potret dirinya dan Ferguson, berdiri berdampingan dengan botol sampanye di tangan, di tengah ucapan selamat dan selebrasi.
“Saya melihat foto itu, dan saya tak akan lupa apa yang saya pikirkan
saat itu. ‘Anda pantas mendapatkannya, setelah semua hal yang telah anda
berikan bagi klub ini’. Satu-satunya yang ada di kepala saya malam itu
adalah betapa Ferguson sangat berhak menerima segala sukacita itu.”
*
Mereka takkan melupakannya. Di sudut-sudut jalan, di taxi, di antrean
toko buah dan sayuran. Ole Gunnar Solskjaer akan menjadi dongeng yang
diceritakan seorang kakek pada cucu-cucunya. “Semua sudah berlalu,”
begitu ia biasa menjawabnya. Seakan itu hal yang mudah.
“Se-simpel itu?,”
“Ya,”
“Apa anda serius?,”
“Tentu. Saya bangga atas apa yang saya lakukan sebagai pemain. Tapi saya cukup baik dalam beradaptasi dengan suasana baru. Itulah kenyataannya, dan sekarang saya bahkan tak bisa berlari. Karena itulah saya bilang ini hal mudah.”
Ia telah mencoba berlari di atas treadmill. Tali sepatunya terikat rapi, tapi mesin itu tetap terlalu cepat baginya. Lututnya tak mampu lagi menahan beban kerja yang begitu berat.
“Anda tahu apa yang saya rindukan? Sore hari menjelang pertandingan. Saat saya pergi tidur dengan perasaan yakin segala persiapan telah sempurna. Saya telah makan dan berlatih sesuai porsi, lalu memvisualisasikan pertandingan di kepala saya. Menyiapkan diri memasuki Old Trafford. Perasaan-perasaan itu…,” katanya dengan senyuman yang tampak begitu jauh.
Bertahun-tahun ia berdiri di sana. Menatap cahaya di ujung lorong pemain, mendengar gemuruh semangat 75.000 orang yang memadati stadion. Ia masih akan terus bermain hari ini jika semua baik-baik saja, layaknya Giggs dan Scholes. Ole akan mengirimkan SMS pada mereka tiap usai pertandingan. Mengatakan betapa mereka tampak begitu muda dan segar lebih dari sebelumnya. Solskjaer menggosok-gosok rambutnya.
“Tapi saya tidak bisa bersandar pada apa yang saya raih di masa lalu.”
*
Tiap akhir pekan ia berdiri di tepi lapangan. Mereka kalah dari
Rosenborg pekan lalu. Lillestrom menunggu di partai berikutnya ( yang
berhasil mereka menangi 3-0 ). Mengenakan jaket Hugo Boss yang dibelinya
di Inggris, tangan memegang dagu, tak melepaskan pandangan ke lapangan.
“Tak ada tempat bagi rasa sentimentil di bisnis ini. Saya punya 25 pemain dan harus memperlakukan mereka sama. Mengharapkan yang terbaik dari mereka semua. Tapi jika klub melakukan perubahan, ada yang harus pergi. Itulah sepakbola. Tak ada belas kasihan.”
“Apa Sir Alex masih menjadi mentor anda?,”
“Saya belum berbicara lagi dengannya sejak saya tiba di sini. Tapi saya sudah mengirim SMS, dan ia juga mengirim beberapa surat. Kami tidak kehilangan kontak. ‘Kau tahu di mana saya’ begitu katanya.”
Di luar jendela, seekor burung camar laut terbang berkeliling. Ole Gunnar mengikutinya dengan matanya.
“Saya tidak tahu bagaimana pemain memandang saya. Tapi saya tahu pasti seperti apa manajer yang baik. Semua berujung pada loyalitas. Dua arah. Saya mendukung dan melindungi mereka.”
“Seperti seorang ayah?”
“Ya, dan itulah cara yang tepat. Saya memperlakukan pemain sama seperti perlakuan saya pada anak. Jika saya dilanda keraguan, saya akan bertanya pada diri sendiri, ‘ jika ia Noah, apa yang akan saya lakukan?’, apakah saya akan mengajaknya duduk dan berbicara hati ke hati, atau saya harus meneriakinya. Saya membutuhkan tekanan dari pekerjaan ini. Karena semua ditentukan oleh saya. Ini tanggung jawab saya dan saya telah menantikannya untuk waktu yang lama.”
Ia adalah salah satu manajer dengan bayaran tertinggi di Divisi Primer Norwegia. Karirnya semasa bermain telah menghasilkan lebih dari 10 juta poundsterling.
“Ada banyak hal yang tak perlu lagi saya lakukan dalam hidup. Saya memang punya cukup uang untuk dihabiskan dengan berjemur di pantai seumur hidup, tapi segera saja hal itu akan terasa sia-sia.”
“Jadi kekayaan tidak mengubah kepribadianmu?”
“Tidak. Uang tidak ada urusannya dengan karakter atau gairah hidup. Memang nyaman rasanya mengetahui saya tak perlu khawatir mengenai aspek ini. Tapi uang tak pernah jadi motivasi saya. Yang menggerakkan saya adalah ketakutan akan kekecewaan. Untuk orang-orang di sekitar saya, dan terutama Ferguson. Hal terburuk yang saya bisa perbuat adalah mengecewakannya.”
25 Februari 1973. Tengah malam hampir tiba. Brita Solskjaer membangunkan
Oyvind, suaminya yang masih kelelahan setelah mengikuti kejuaraan gulat
nasional. Tapi ia tetap membopong istrinya ke mobil, lalu memegang
kemudi di kursi depan. Sore itu ia pulang ke rumah dengan tangan hampa
untuk pertama kalinya sepanjang karir. Ia banyak pikiran akhir-akhir
itu, terutama mengenai istrinya. Mereka bermobil melewati malam musim
dingin yang mengigit menuju rumah sakit. Pukul 5.34 pagi, Ole Gunnar
kecil lahir ke dunia.
“Saya berharap saya bisa melihat ayah bertanding. Tapi karir gulatnya telah berakhir saat saya bisa mulai mengerti banyak hal. Saya ingat kliping-kliping, guntingan halaman depan koran. Bagi anak seusia saya, itu hal yang istimewa. Karena itu saya ingin Noah mengetahui lebih jauh mengenai ayahnya daripada sekedar apa yang bisa ia baca di koran. Saya ingin ia melihat saya bermain. Ia berumur hampir 7 tahun saat kami memenangi liga di 2007. Dan ia mengingatnya. Bahwa ayahnya pernah bermain untuk Manchester United.”
“Anak-anak ini tumbuh di keluarga yang mapan”
“Benar. Tapi mereka tak pernah memikirkan hal itu. Saya tahu mereka baru saja ditanyai orang lain saat mereka bertanya soal barang-barang yang kami miliki. ‘ apakah kita orang kaya?’ tanya mereka, dan saya akan menjawab, ‘kita tidak kekurangan’.”
“Apa anda melihat sosok ayah anda dalam diri anda?”
“Silje bilang sih begitu. Tapi saya pikir saya lebih ketat pada anak daripada ayah kepada saya. Saya tak ingat ayah pernah meneriaki saya. Kadang saya merasa ‘oh, saya sudah kelewatan. Ayah tak pernah begitu kepada saya’.”
Saat ia mundur di 2008, media Inggris menyamakannya dengan Ibsen dan
Munch. Ole tak pernah terbiasa dengan popularitas. Ia sendiri masih
terkesima tiap kali bertemu dengan mantan rekannya, Eric Cantona.
“Orang-orang memberitahu saya, kemanapun mereka pergi di seluruh dunia, dan mengatakan mereka orang Norwegia, ‘Manchester United, Solskjaer’ akan disebut dalam percakapan. Ya, memang United adalah salah satu merk terbesar di dunia. Semua berkat globalisasi,” katanya dalam nada bicara yang seakan berdalih.
Tiba-tiba ia teringat akan cerita yang membuka matanya akan popularitasnya.
“Silje membaca sebuah wawancara dengan Dag Erik Pedersen ( mantan pembalap sepeda profesional dan bintang TV ) di Magasinet. Ia berkata, merupakan sebuah kehormatan untuk dapat bertemu raja Norwegia, Paul McCartney, dan Ole Gunnar Solskjaer. Saya tertawa mendengarnya. Aneh sekali,” ia menggelengkan kepala, duduk seperti anak sekolah dengan mata berbinar-binar.
“Saya sejujurnya tak pernah menganggap diri saya seseorang yang…,apa ya…saya bisa mengerti kalau anak-anak mengingat mereka pernah bertemu saya karena saya bermain untuk United, tapi saat Dag Erik Pedersen yang mengatakannya, itu membuat saya berpikir…..,”
“Bahwa anda telah membuat Norwegia bangga?,”
“Mungkin, dan tak ada yang lebih hebat dari itu. Tapi yang paling penting bagi saya secara pribadi adalah bahwa sahabat dan keluarga saya bisa mengalami dan merasakan United, sebagian karena saya. Saya mengundang nenek ke partai kandang melawan Everton di 1999, kami menang 5-1. Saya membuat 4 gol. Seusai pertandingan beliau berkata, bola itu bulat, yang berikutnya mungkin tak akan semudah ini,” Ole mengangkat bahunya. “Ia mengagumkan.”
*
Dari waktu ke waktu ia menatap gambar seorang anak muda 15 tahun lalu. Tubuhnya yang kurus, baju yang kebesaran.
“Saya pikir orang yang dekat dengan saya tak akan melihat perbedaan pada diri saya 15 tahun lalu. Tapi bukan berarti saya tak berubah sama sekali. Pengalaman-pengalaman yang saya dapat bertahun-tahun itu telah membentuk saya.”
Ia mendorong pintu di depannya, kami tiba di trotoar di luar stadion. Tak ada orang.
“Saya telah menjadi dewasa. Saya lebih percaya diri, lebih yakin pada kemampuan saya. Saya yakin orang dapat melihat hal itu. Dan saya menginginkan kesuksesan. Alaminya saya orang yang ambisius. Mungkin akan ada kesempatan lain di luar negeri bila saya sukses di sini. Kita lihat nanti.”
*
Sore sebelumnya di musim semi ini badai datang di Kristiansund. Ole
Gunnar berjalan di halaman belakang rumahnya, di atas rerumputan yang
menanti musim panas. Melewati kolam renang, menuju bebatuan besar
pembatas laut. Ia akan membeli sebuah kapal dan sebuah kayak. Kakeknya
seorang nelayan. Tak lama ia juga akan membangun sebuah dermaga.
“Enak sekali rasanya berdiri di sini memandangi ombak yang datang. Seperti terhipnotis. Dan saya masih dapat mendengar bunyi desiran air saat pergi tidur.”
“Tidakkah itu terlalu sunyi?”
“Itu yang saya mau. Tujuannya memang kesunyian itu.”
Di suatu tempat di seberang lautan, orang-orang masih menyanyikan
namanya. Seakan suatu hari ia akan kembali. Muncul di sudut jauh gawang
saat bola masih di udara bermandikan cahaya lampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar